Hai sahabat Medikolegal bagaimana kabarnya? semoga dalam keadaan sehat ya
Tindak pidana pengeroyokan hingga menyebabkan tewas merupakan peristiwa yang sering terjadi di Indonesia. Pengeroyokan tanpa mengetahui kejelasan akan sebuah kasus dapat membahayakan orang sekitar.
Seperti kejadian terbaru kali ini, mengenai seorang pria lanjut usia yang meninggal dunia akibat dihakimi secara massa oleh warga hingga tewas.
Bagaimana hal tersebut terjadi dan bagaimana pengaturan hukum di Indonesia? Yukk ikuti terus.
Kronologi Tindak Pidana Pengeroyokan
Pada tanggal 23 Januari 2022 telah terjadi pengeroyokan kepada kakek berinisial HM (89) di Cakung, Pulogadung, Jakarta Timur. Kejadian dimulai ketika kakek berkendara mobil sempat menyenggol seorang pengendara motor.
Dikutip dalam Kompas.com kakek tersebut sempat menabrak pemotor, ia kemudian dikejar dan diteriaki maling oleh pemotor yang sempat tetabrak.
Dikarenakan kondisi yang sudah berumur 89 tahun, diduga tidak mendengar teriakan massa dan bunyi klakson yang hendak menghentikan mobilnya, keterangan tersebut diungkapkan oleh anak korban sewaktu dimintai keterangan oleh polisi di Polres Metro Jakarta Timur.
Pengeroyokan tersebut terjadi minggu dini hari di Jalan Pulo Kambing Raya, Kawasan Industri Pulogadung, Cakung, Jakarta Timur.
Pihak polisi memberikan keterangan melalui Ahsanul memastikan bahwa pengendara mobil itu bukan maling seperti yang dituduhkan.
Hingga kini polisi masih menyelidiki kasus ini dan mencari warga yang diduga menjadi provokator hingga meninggalnya HM.
Baca Juga: Keadilan Restoratif: Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana
Pengeroyokan dalam hukum di Indonesia
Salah satu tindak pidana yang marak terjadi adalah tindak pidana pengeroyokan. Hal ini sering terjadi dikarenakan jalan pintas bagi orang atau sekelompok orang untuk menyelesaikan permasalahan tanpa memikirkan akibat dari apa yang dilakukannya.
Pengeroyokan dalam KBBI menyebutkan bahwa pengeroyokan berasal dari kata keroyok, mendapat awalan me- menjadi mengeroyok yang berarti menyerang beramai-ramai (orang banyak).
Dalam dunia akademis, tindakan main hakim sendiri biasa disebut eigenrichting. Secara umum, bisa diartikan tindakan individu atau kelompok telah melakukan tindakan di luar jalur hukum.
Dalam hukum positif, eigenrichting dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diancam dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara, yang dinyatakan sebagai berikut:
1. Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
2. Yang bersalah diancam:
- Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
- Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
- Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
Main hakim sendiri juga bisa dikenakan pasal penganiayaan, sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. Pasal itu berbunyi:
- Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
- Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
- Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Menuntut Massa
Pada dasarnya ketentuan Hukum Positif di Indonesia memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan yang bersifat tidak langsung baik dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Arif Gosita menyebutkan bahwa korban mempunyai hak-hak yang berupa:
- Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, dengan delinkuensi dan penyimpangan tersebut;
- Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya);
- Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;
- Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi:
- Berhak mendapat kembali hak miliknya;
- Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi;
- Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum;
- Berhak mempergunakan upaya hukum;
Berdasarkan hak-hak tersebut korban diberikan hak untuk melaporkan dan menuntut keadilan bagi si korban. Mengingat dalam hukum pidana bahwa siapa yang berbuat dia yang harus bertanggung jawab.
Tetapi dalam kasus secara umum ketika penyelidik memulai pengusutan akan kasus penganiayaan atau main hakim sendiri, penyelidik sering kali menemui kebuntuan.
Perlu diingat bahwa pelaku pengeroyokan tidak hanya seorang melainkan dua orang atau lebih. Maka dalam hal ini sangat sulit untuk menentukan pihak siapa saja yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Itulah penjelasan singkat mengenai “Tindak Pidana Pengeroyokan Hingga Menyebabkan Tewas”. Untuk mendapatkan artikel yang lainnya, kamu dapat mengaksesnya melalui website https://medikolegal.id/.
Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Arif Gosita, “Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan)”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004;
Kompas.com, “Lansia yang Tewas Dikeroyok Massa di Cakung Dituduh Pencuri akibat Senggol Pengendara Motor”, diakses pada laman, https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/24/06224351/lansia-yang-tewas-dikeroyok-massa-di-cakung-dituduh-pencuri-akibat. Pada tanggal 25 Januari 2022.;
Hukum Online, “Ancaman Pidana Bagi Pelaku Pengeroyokan yang Mengakibatkan Korban Tewas.” diakses pada laman https://www.hukumonline.com/klinik/a/penganiayaan-lt4fb6bb85b3c29, pada tanggal 25 Januari 2022;
Sumber Gambar: