Stigma Penyakit: Hambatan untuk Kesehatan Masyarakat dan Konsekuensi Hukum

Oleh: Ronald Pratama Adiwinoto,dr.,M.Ked.Trop

Hai Sobat Medikolegal kali ini kita akan memahami tentang stigma. Sobat medikolegal pernah mendengar kata stigma bukan?

Stigma adalah fenomena sosial yang meluas yang mempengaruhi individu, keluarga, dan komunitas di seluruh dunia. Stigma dapat timbul dari berbagai faktor, salah satu sumber yang paling umum adalah penyakit. Banyak penyakit, baik infeksius maupun non-infeksius (tidak menular) membawa stigma sosial yang signifikan dan dapat memiliki dampak mendalam pada individu dan komunitas yang terdampak.

Dalam artikel ini, kita akan membahas stigma yang terkait dengan berbagai penyakit, konsekuensi hukumnya, dan bagaimana stigma itu dapat dihilangkan untuk mempromosikan kesehatan masyarakat.

Stigma : Apakah itu sebenarnya?

Stigma adalah sikap, keyakinan, atau perilaku negatif yang diarahkan terhadap individu atau kelompok berdasarkan atribut atau karakteristik tertentu. Stigma dipertahankan oleh berbagai faktor, termasuk ketakutan, ketidaktahuan, prasangka, dan norma budaya. Konsekuensi stigma termasuk ostracisme (pengasingan/pengucilan) sosial, diskriminasi, pengecualian, dan marginalisasi*.

*(tindakan mengasingkan, meminggirkan, atau melemahkan kuasa kelompok minoritas atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan negara dan kelompok dominan, sehingga setiap kelompok marginal akan tunduk pada kelompok dominan).

Stigma dan penyakit

1. Stigma dan Penyakit Infeksi

Penyakit menular seperti HIV/AIDS, Tuberkulosis (TB), dan Kusta telah dikritik sepanjang sejarah umat manusia. Stigma HIV / AIDS telah mengakibatkan ostracisme sosial, dengan konsekuensi hilangnya pekerjaan, dan penolakan perawatan kesehatan. Demikian pula, stigma TB berakar dalam keyakinan bahwa penyakit ini disebabkan oleh kelemahan moral, kemiskinan, atau nasib buruk, bukan oleh infeksi bakteri. Stigma kusta juga berakibat ostracisme sosial, risiko hilangnya pekerjaan, penolakan perawatan kesehatan, bahkan dalam Alkitab, kusta dianggap sebagai hukuman dari Tuhan, yang mengarah pada pengucilan sosial. Kemudian, pada abad ke-19 dan ke-20, kusta didiskreditkan sebagai penyakit menular dan tidak dapat disembuhkan, yang mengarah pada ostracisme sosial dan penolakan hak asasi manusia dasar bagi mereka yang mengidapnya.

Stigma yang terkait dengan penyakit menular telah menghalangi upaya pencegahan dan pengobatan dengan mendorong orang untuk mencari perawatan dan mematuhi perawatan.

2. Stigma dan Penyakit Non-Infeksi (PTM/ Penyakit Tidak Menular)

Penyakit non-infeksi seperti penyakit mental, kecanduan, dan obesitas juga membawa stigma sosial yang signifikan. Stigma penyakit mental berakar pada ketakutan, ketidaktahuan, dan diskriminasi, dan memiliki dampak yang mendalam pada mereka yang terkena penyakit. stigma kecanduan telah mengakibatkan ostracisme sosial, hilangnya pekerjaan, dan penolakan perawatan kesehatan, antara lain. Demikian pula, stigma obesitas telah mengakibatkan ostracisme sosial, hilangnya pekerjaan, dan penolakan perawatan kesehatan, antara lain.

Baca Juga: Sejarah Penyakit Infeksi di Dunia: Terobosan, Tantangan, dan Peluang untuk Kesehatan Global

Konsekuensi Hukum

Stigma yang terkait dengan penyakit juga dapat memiliki implikasi hukum dan konsekuensi bagi individu maupun komunitas. Contohnya, di Indonesia, HIV/AIDS termasuk salah satu penyakit menular di bawah Undang-Undang Karantina Kesehatan No. 6 of 2018. Undang-undang ini mengharuskan individu yang telah didiagnosis dengan HIV / AIDS untuk menjalani tes wajib dan pengungkapan status HIV mereka. Kegagalan untuk mematuhi undang-undang ini dapat mengakibatkan denda maupun hukuman penjara.

Undang-undang yang berlaku terkait dengan stigma dan diskriminasi terhadap penyakit di Indonesia, antara lain:

1. Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

Undang-Undang ini mengatur tentang pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan penyakit menular yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Dalam undang-undang ini, HIV/AIDS termasuk sebagai salah satu penyakit menular yang harus diwaspadai dan ditangani dengan sebaik-baiknya. Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan karantina dan pemeriksaan wajib terhadap orang yang terinfeksi penyakit menular, termasuk HIV/AIDS.

2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang ini mengatur tentang kesehatan masyarakat dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam undang-undang ini, diatur bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas tanpa diskriminasi dan stigmatisasi.

3. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1992 tentang Pengendalian Penyakit Menular

Peraturan pemerintah ini mengatur tentang pengendalian dan pencegahan penyakit menular di Indonesia. Dalam peraturan ini, diatur bahwa setiap orang yang terinfeksi penyakit menular harus diisolasi dan diberikan perawatan yang tepat. Namun, peraturan ini juga mengatur bahwa penanganan terhadap orang yang terinfeksi penyakit menular harus dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia dan tanpa diskriminasi.

4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan di Perguruan Tinggi Kesehatan

Peraturan menteri kesehatan ini mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan kesehatan di perguruan tinggi kesehatan. Dalam peraturan ini, diatur bahwa pendidikan kesehatan harus dilakukan secara komprehensif, termasuk mengenai aspek sosial dan budaya yang terkait dengan penyakit. Pendidikan kesehatan juga harus memperhatikan hak asasi manusia dan mendorong penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap penyakit.

Demikian pula, di Amerika Serikat, American with Disabilities Act (ADA) melarang diskriminasi terhadap individu dengan cacat, termasuk mereka yang hidup dengan penyakit menular seperti HIV / AIDS. Undang-undang ini berlaku untuk pengusaha, akomodasi publik, dan entitas pemerintah. Diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas dapat mengakibatkan tindakan hukum, termasuk denda dan kompensasi kerusakan.

Konsekuensi hukum stigma melampaui individu yang terkena penyakit menular. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada beberapa kasus profil tinggi yang melibatkan stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh individu dengan penyakit mental. Di Amerika Serikat, Mental Health Parity and Addiction Equity Act (MHPAEA) mengharuskan rencana asuransi kesehatan untuk menutupi gangguan kesehatan mental dan penggunaan zat dengan cara yang sama seperti mereka mencakup penyakit fisik. Affordable Care Act (ACA) juga mencakup ketentuan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan mental dan perawatan penyalahgunaan zat dan mencegah diskriminasi terhadap individu dengan kondisi kesehatan mental. Pelanggaran terhadap hukum ini dapat mengakibatkan tindakan hukum dan denda.

Baca Juga: Prosedur Pemeriksaan Korban Kejahatan Seksual

Dampak Stigma terhadap Kesehatan Masyarakat

Stigma yang terkait dengan penyakit dapat memiliki implikasi dan konsekuensi yang signifikan bagi individu dan komunitas yang terkena dampak, serta untuk kesehatan masyarakat. Stigma dapat memicu diskriminasi, pengecualian, dan marginalisasi, dan dapat memiliki dampak mendalam pada kesehatan dan kesejahteraan orang-orang yang terkena dampak. Stigma juga dapat menghalangi upaya pencegahan dan pengobatan penyakit dengan mencegah orang dari mencari perawatan dan mematuhi perawatan. Stigma yang terkait dengan penyakit juga dapat mengakibatkan kurangnya dukungan sosial, kualitas hidup yang berkurang, dan peningkatan laju kematian, prognosis buruk penyakit tersebut.

Menghapus Stigma untuk mempromosikan kesehatan masyarakat

Upaya menghapus stigma membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, yang melibatkan individu, komunitas, maupun lembaga. Pendidikan adalah kunci untuk mengurangi stigma dengan menghapus mitos dan kesalahpahaman tentang penyakit. Mendorong dialog terbuka, mempromosikan keragaman, dan menekankan empati juga dapat membantu mengurangi stigma. Kelompok pendukung dan rekan konseling (peer group support system) dapat memberikan individu dukungan sosial yang mereka butuhkan untuk mengatasi konsekuensi stigma. Upaya lainnya juga harus dilakukan untuk mengurangi hambatan struktural terhadap akses pelayanan kesehatan, seperti kebijakan yang diskriminatif, akses yang tidak memadai ke perawatan kesehatan, maupun cakupan asuransi.

Kesimpulan

Stigma yang terkait dengan penyakit dapat memiliki implikasi dan konsekuensi yang signifikan bagi individu dan komunitas yang terkena dampak, serta untuk kesehatan masyarakat. Stigma dapat mengakibatkan diskriminasi, pengecualian, dan marginalisasi, dan dapat menghalangi upaya pencegahan dan pengobatan. Perlindungan hukum, seperti yang ada di Indonesia dan Amerika Serikat, dapat membantu mengurangi dampak stigma pada individu yang terkena dampak. Namun, menghilangkan stigma membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan yang melibatkan individu, komunitas, dan lembaga. Pendidikan, dialog terbuka, empati, dukungan sosial, dan mengurangi hambatan struktural untuk merawat semuanya penting untuk mengurangi stigma dan mempromosikan kesehatan masyarakat. Dengan bekerja sama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua individu yang terkena penyakit.

Referensi

Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1992 tentang Pengendalian Penyakit Menular.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan di Perguruan Tinggi Kesehatan.

Goffman, E. (1963). Stigma: Notes on the management of spoiled identity. Prentice-Hall.

Herek, G. M. (2007). Confronting sexual stigma and prejudice: Theory and practice. Journal of social issues, 63(4), 905-925.

Link, B. G., & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing stigma. Annual review of sociology, 27(1), 363-385.

Parker, R., Aggleton, P., & Attawell, K. (2002). Pity, prejudice and punishment: attitudes towards people with HIV/AIDS in the United States and Australia. Journal of community & applied social psychology, 12(5), 300-322.

Sontag, S. (1989). AIDS and its metaphors. Farrar, Straus, and Giroux.

Tsai, A. C., Bangsberg, D. R., Emenyonu, N., Senkungu, J. K., Martin, J. N., & Weiser, S. D. (2013). The social context of food insecurity among persons living with HIV/AIDS in rural Uganda. Social science & medicine, 87, 1-8.

Van Brakel, W. H. (2006). Measuring health-related stigma-a literature review. Psychology, health & medicine, 11(3), 307-334.

United States Department of Justice. Americans with Disabilities Act (ADA). (n.d.). Retrieved March 30, 2023, from https://www.ada.gov/

United States Department of Health and Human Services. Mental Health Parity and Addiction Equity Act (MHPAEA). (n.d.). Retrieved March 30, 2023, from https://www.hhs.gov/mental-health-and-addiction/parity/index.html

United States Department of Health and Human Services. Affordable Care Act (ACA). (n.d.). Retrieved March 30, 2023, from https://www.hhs.gov/health-care/health-insurance-marketplaces/affordable-care-act/index.html

Sumber Gambar: pexels.com

Medikolegal.id
Medikolegal.id
Articles: 95