Pada pertengahan Maret 2025, dunia medis Indonesia dikejutkan oleh kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan Priguna Anugrah Pratama, seorang mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi dari Universitas Padjadjaran (Unpad). Peristiwa ini terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, yang merupakan salah satu rumah sakit pendidikan terkemuka di Indonesia.
Kronologi Kejadian
Pada 18 Maret 2025, sekitar pukul 01.00 WIB, Priguna meminta FH (21), seorang perempuan yang tengah menjaga kerabatnya di RSHS, untuk melakukan pemeriksaan kecocokan golongan darah. Ia mengklaim bahwa donor darah diperlukan untuk pasien yang dirawat. Priguna kemudian membawa FH ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS.
Setibanya di sana, FH diminta mengganti pakaian dengan baju operasi dan melepas pakaian dalamnya. Priguna kemudian melakukan prosedur pengambilan darah dengan menusukkan jarum ke kedua lengan FH sebanyak 15 kali.
Setelah itu, ia menyuntikkan cairan ke selang infus yang terhubung ke FH, menyebabkan FH merasa pusing dan akhirnya pingsan. Saat sadar, FH merasakan perih saat buang air kecil dan menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban pelecehan seksual.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa FH bukan satu-satunya korban. Selain FH, terdapat dua pasien lain di RSHS yang diduga menjadi korban Priguna dengan modus operandi serupa. Kedua pasien ini belum melapor secara resmi, namun informasi ini diperoleh dari laporan internal RSHS.
Tindakan Institusional dan Hukum
Menanggapi kejadian ini, RSHS menghentikan sementara aktivitas PPDS yang dijalani oleh Priguna. Universitas Padjadjaran juga memproses pemutusan studi terhadap yang bersangkutan, meskipun belum ada putusan pengadilan.
Kementerian Kesehatan menginstruksikan RSHS untuk menghentikan sementara program residensi dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif guna evaluasi dan perbaikan pengawasan. Selain itu, Konsil Kedokteran Indonesia diminta untuk mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) Priguna, yang otomatis membatalkan Surat Izin Praktek (SIP)nya.
Secara hukum, Priguna dijerat dengan Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengancamnya dengan hukuman penjara maksimal 12 tahun.
Analisis Hukum dan Kode Etik Kedokteran
Perbuatan Priguna jelas melanggar hukum, khususnya terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, tindakan tersebut bertentangan dengan kode etik kedokteran yang menekankan prinsip non-maleficence (tidak merugikan pasien) dan beneficence (berbuat baik untuk pasien).
Sebagai tenaga medis, Priguna seharusnya menjaga integritas dan kepercayaan pasien, bukan menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Kasus ini memberikan dampak negatif terhadap citra profesi kedokteran di Indonesia.
Pencegahan di Masa Mendatang
Untuk mencegah kejadian serupa, penting bagi institusi pendidikan dan rumah sakit untuk meningkatkan pengawasan terhadap mahasiswa dan tenaga medis. Pelatihan tentang pencegahan kekerasan seksual dan penegakan kode etik harus diperkuat. Selain itu, sistem pelaporan yang aman dan responsif perlu dibangun agar korban merasa terlindungi saat melapor.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan pasien harus dijaga dengan sepenuh hati, dan penyalahgunaan kewenangan oleh tenaga medis harus ditindak tegas sesuai dengan hukum dan kode etik yang berlaku.