Dokter atau Predator? Tindakan Asusila Dokter Kepada Pasien

Profesi dokter sejak lama dipandang sebagai pekerjaan yang luhur karena menyangkut nyawa dan kesehatan manusia. Seorang dokter dituntut bukan hanya untuk cakap secara klinis, tetapi juga menjunjung tinggi etika profesi yang melandasi hubungan kepercayaan antara pasien dan tenaga medis. Salah satu fondasi utama dari etika ini adalah prinsip non-maleficence, yaitu “tidak menyakiti pasien.”

Namun belakangan, kepercayaan ini diguncang oleh munculnya kasus-kasus tindakan asusila yang dilakukan oleh oknum dokter kepada pasiennya sendiri. Hal ini bukan hanya mencoreng citra profesi medis, tetapi juga menggambarkan celah serius dalam sistem pengawasan, sertaperlindungan hukum bagi korban.

Kronologis

Belum lama ini kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan Dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, yang merupakan salah satu rumah sakit pendidikan terkemuka di Indonesia. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa FH bukan satu-satunya korban. Selain FH, terdapat dua pasien lain di RSHS yang diduga menjadi korban Priguna dengan modus operandi serupa. Kedua pasien ini belum melapor secara resmi, namun informasi ini diperoleh dari laporan internal RSHS.

Sekarang warga sosial media dikejutkan dengan tindakan yang dilakukan oleh Dokter Kandungan di Garut Jawa Barat. Dokter kandungan lecehkan seorang pasien saat sedang melakukan pemeriksaan USG. Diketahui melalui video CCTV kejadian terjadi pada 20 Juni 2024. Dari rekaman tersebut Nampak dokter melakukan tindakan asusila kepada pasien atau korban pada saat pemeriksaan sedang berlangsung.

Diketahui dokter yang melakukan pemeriksaan dr. Iril. Korban pada saat pemeriksaan kedua mulai merasakan pelecehan yang dilakukan oleh dokter tersebu. Di momen yang sama, korban mengaku pelaku tiba-tiba menyarankan untuk melakukan cek pembukaan saat itu juga. Pelaku juga sempat mengelus paha korban usai pemeriksaan tersebut. Korban sempat menepis tangan pelaku saat dilecehkan.

Korban sempat bertanya kepada bidan lain terkait prosedur tersebut dan mendapatkan hal itu tidak termasuk prosedur medis kecuali ada indikasi yang diharuskan melakukan USG penuh. Korban mengungkapkan sudah melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian beberapa bulan lalu, namun belum ada tindak lanjut.

Etika Kedokteran dan Jerat Hukum

Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI) disebutkan bahwa Seorang dokter wajib menghormati hak pasien dan menjaga martabat pasien dalam semua tindakan profesionalnya serta bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika dan profesi.

Tindakan pelecehan seksual merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip ini. Dokter yang terbukti melakukannya dapat dikenai sanksi etik, mulai dari teguran hingga pencabutan izin praktik oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam Pasal 276 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan Kesehatan sesuai kebutuan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu.

Tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomro 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dengan acaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 C UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Analisis

Melihat fenomena yang terjadi melalui pemberitaan dan pengakuan korban yang viral di media sosial, terdapat pola yang terlihat cukup mirip. Antara relasi kuasa antara dokter dan pasien, tindakan terjadi dalam ruang tertutup tanpa saksi dan korban berada di posisi pasrah atau tidak menyadari pelanggaran karena proses pemeriksaan yang bersifat sensitif. Ini menandakan penyalahgunaan kuasa professional adalah faktor utama yang memfasilitas terjadinya tindakan asusila.

Ketika seseorang memiliki kuasa absolut dalam ruang privat, dan tak ada pengawasan, impuls buruk bisa terealisasi, terutama jika tidak ada kendali internal yang kuat.

Etika kedokteran yang seharusnya menjadi ajaran mulia sayangnya hanya menjadi dokumen normatif bukan budaya hidup. Pelanggaran terjadi karena sanksi etik yang tidak transparan atau cukup berat dan minimnya pembinaan etika selama pratik profesi.

Dalam budaya masyarakat yang masih patriarkis, perempuan seringkali tidak dianggap sebagai korban yang “sah” bila tidak ada kekerasan fisik. Korban juga sering disalahkan atau dicurigai “menggoda”, terutama jika pelaku adalah figur yang dihormati. Akibatnya, laporan pelecehan seksual sulit diproses secara adil, terutama jika pelaku memiliki status sosial tinggi seperti dokter.

Kesimpulan

Bukan Hanya Dokternya, Tapi Sistemnya Juga Harus Diperbaiki.

Fenomena dokter yang melakukan tindakan asusila terhadap pasien bukan hanya masalah oknum, tapi juga masalah sistemik yang melibatkan aspek psikologis, etika profesi, kelemahan hukum, budaya patriarki, dan pengawasan manajemen.

Masyarakat mempercayakan tubuh dan nyawanya kepada tenaga medis. Jika kepercayaan ini dikhianati, maka seluruh sistem pelayanan kesehatan yang akan runtuh. Perlu ada keberanian bersama untuk membersihkan profesi medis dari mereka yang menyalahgunakan jas putih sebagai topeng kebusukan moral.

Medikolegal.id
Medikolegal.id
Articles: 102